Dinasti
Abbasiyah yang berkuasa selama lebih kurang enam abad (132–656 H/ 750-1258 M),
didirikan oleh Abul Abbas al- Saffah dibantu oleh Abu Muslim al-Khurasani,
seorang jendral muslim yang berasal dari Khurasan, Presia. Gerakan-gerakan
perlawanan untuk melawan kekuasaan dinasti Bani Umayyah sebenarnya sudah
dilakukan sejak masa-masa awal pemerintahan dinasti Bani Umayyah, hanya saja
gerakan tersebut selalu digagalkan oleh kekuatan militer Bani Umayyah, sehingga
gerakan-garakan kelompok penentang tidak dapat melancarkan serangannya secara
kuat. Tapi dimasa-masa akhir pemerintahan dinasti Bani Umayyah gerakan tersebut
semakin menguat seiring banyaknya protes dari masyarakat yang merasa tidak puas
atas kinerja dan berbagai kebijakan pemerinatah dinasti Bani Umayyah. Gerakan
ini menemukan momentumnya ketika para tokoh dai Bani Hasyim melancarkan
serangannya.
Para tokoh tersebut antara lain Muhammad bin Ali, salah seorang keluarga Abbas yang menjadikan kota Khufa sebagai pusat kegiatan perlawanana. Gerakan Muhammad bin Ali mendapat dukungan dari kelompok Mawali yang selalu ditempatkan sebagai masyarakat kelas dua. Selain itu, juga dukungan kuat dari kelompok Syi’ah yang menuntut hak mereka atas kekuasaan yang pernah dirampas oleh dinasti Banui Umayyah. Akhirnya pada tahun 132 M H/ 750 M, Marwan bin Muhammad dapat dikalahkan dan akhrinya tewas mengenasakan di Fustat, Mesir pada 132 H / 705 M. Sejak itu, secara resmi Dinasti Abbasiyah mulai berdiri.
Para tokoh tersebut antara lain Muhammad bin Ali, salah seorang keluarga Abbas yang menjadikan kota Khufa sebagai pusat kegiatan perlawanana. Gerakan Muhammad bin Ali mendapat dukungan dari kelompok Mawali yang selalu ditempatkan sebagai masyarakat kelas dua. Selain itu, juga dukungan kuat dari kelompok Syi’ah yang menuntut hak mereka atas kekuasaan yang pernah dirampas oleh dinasti Banui Umayyah. Akhirnya pada tahun 132 M H/ 750 M, Marwan bin Muhammad dapat dikalahkan dan akhrinya tewas mengenasakan di Fustat, Mesir pada 132 H / 705 M. Sejak itu, secara resmi Dinasti Abbasiyah mulai berdiri.
Kemunduran
Dinasti Abbasiyah
Faktor-faktor penting yang
menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada masa ini, sehingga banyak daerah
memerdekakan diri, adalah:
1.
Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyyah sementara
komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat
saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat
rendah.
2.
Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata,
ketergantungan khalifah kepada
mereka sangat tinggi.
3.
Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang
dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer
menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
Masa Disintegrasi (1000-1250 M)
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih
menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada persoalan politik
itu, propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman
penguasa Bani Abbas, dengan berbagai cara di antaranya pemberontakan yang
dilakukan oleh pemimpin lokal dan mereka berhasil memperoleh kemerdekaan penuh.
Disintegrasi dalam bidang politik
sebenarnya sudah mulai terjadi di akhir zaman Bani Umayyah. Akan
tetapi berbicara tentang politik Islam dalam lintasan sejarah, akan terlihat
perbedaan antara pemerintahan Bani Umayyah dengan pemerintahan Bani Abbas.
Wilayah kekuasaan Bani Umayyah, mulai dari awal berdirinya sampai masa
keruntuhannya, sejajar dengan batas-batas wilayah kekuasaan Islam. Hal ini tidak seluruhnya benar
untuk diterapkan pada pemerintahan Bani Abbas. Kekuasaan dinasti ini tidak
pernah diakui di Spanyol dan
seluruh Afrika Utara,
kecuali Mesir yang
bersifat sebentar-sebentar dan kebanyakan bersifat nominal. Bahkan dalam
kenyataannya, banyak daerah tidak dikuasai khalifah. Secara riil, daerah-daerah
itu berada di bawah kekuasaan gubernur-gubernur propinsi bersangkutan.
Hubungannya dengan khilafah ditandai dengan pembayaran pajak.
Ada kemungkinan bahwa para khalifah
Abbasiyah sudah cukup puas dengan pengakuan nominal dari propinsi-propinsi
tertentu, dengan pembayaran upeti itu. Alasannya adalah:
1.
Mungkin para khalifah tidak cukup kuat untuk membuat
mereka tunduk kepadanya,
2.
Penguasa Bani Abbas lebih menitik beratkan pembinaan
peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi.
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih
menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada persoalan politik
itu, propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman
penguasa Bani Abbas. Ini bisa terjadi dalam salah satu dari dua cara:
1.
Seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan
dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti daulah Bani Umayyah di Spanyol dan Bani Idrisiyyah di Marokko.
2.
Seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah,
kedudukannya semakin bertambah kuat, seperti daulah Aghlabiyah diTunisia dan Thahiriyyah di Khurasan.
Kecuali Bani Umayyah di Spanyol dan
Bani Idrisiyyah di Marokko, propinsi-propinsi itu pada mulanya tetap patuh
membayar upeti selama mereka menyaksikan Baghdad stabil dan khalifah mampu
mengatasi pergolakan-pergolakan yang muncul. Namun pada saat wibawa khalifah
sudah memudar mereka melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad. Mereka bukan saja
menggerogoti kekuasaan khalifah, tetapi beberapa di antaranya bahkan berusaha
menguasai khalifah itu sendiri.
Menurut Ibnu Khaldun, sebenarnya
keruntuhan kekuasaan Bani Abbas mulai terlihat sejak awal abad kesembilan.
Fenomena ini mungkin bersamaan dengan datangnya pemimpin-pemimpin yang memiliki
kekuatan militer di propinsi-propinsi tertentu yang membuat mereka benar-benar
independen. Kekuatan militer Abbasiyah waktu itu mulai mengalami kemunduran.
Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah mempekerjakan orang-orang profesional
di bidang kemiliteran, khususnya tentara Turki dengan sistem perbudakan baru
seperti diuraikan di atas. Pengangkatan anggota militer Turki ini, dalam
perkembangan selanjutnya teryata menjadi ancaman besar terhadap kekuasaan
khalifah. Apalagi pada periode pertama pemerintahan dinasti Abbasiyah, sudah
muncul fanatisme kebangsaan berupa gerakan syu'u arabiyah(kebangsaan/anti
Arab).
Gerakan inilah yang banyak
memberikan inspirasi terhadap gerakan politik, disamping persoalan-persoalan
keagamaan. Nampaknya, para khalifah tidak sadar akan bahaya politik dari
fanatisme kebangsaan dan aliran keagamaan itu, sehingga meskipun dirasakan
dalam hampir semua segi kehidupan, seperti dalam kesusasteraan dan karya-karya
ilmiah, mereka tidak bersungguh-sungguh menghapuskan fanatisme tersebut, bahkan
ada di antara mereka yang justru melibatkan diri dalam konflik kebangsaan dan
keagamaan itu.
Masa disintegrasi ini terjadi
setelah pemerintahan periode pertama Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya,
pada masa berikutnya pemerintahan dinasti ini mulai menurun, terutama di bidang
politik. Dimana salah satu sebabnya adalah kecenderungan penguasa untuk hidup
mewah dan kelemahan khalifah dalam memimpin roda pemerintahan.
Berakhirnya kekuasaan Dinasti Seljuk atas Baghdad atau
khilafah Abbasiyah merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini,
khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan suatu dinasti tertentu,
walaupun banyak sekali dinasti Islam berdiri. Ada di antaranya yang cukup
besar, namun yang terbanyak adalah dinasti kecil. Para khalifah Abbasiyah,
sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya.
Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit ini menunjukkan kelemahan politiknya.
Pada masa inilah tentara Mongoldan Tartar menyerang Baghdad. Baghdad
dapat direbut dan dihancur luluhkan tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran
Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini awal babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan.
Sebagaimana terlihat dalam
periodisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua.
Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara
tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena
khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang.
Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri
cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah,
mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan. Disamping kelemahan khalifah,
banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur,
masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa di
antaranya adalah sebagai berikut:
Persaingan antar Bangsa
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh
Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh
persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa.
Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani
Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun, ada dua
sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab.
1.
Sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani
Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu.
2.
Orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya
ashabiyah (kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di
atas ashabiyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang
Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan
pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah
yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap
rendah bangsa non-Arab ('ajam).
Selain itu, wilayah kekuasaan
Abbasiyah pada periode pertama sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang
berbeda, seperti Maroko, Mesir,Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Mereka disatukan dengan
bangsa Semit. Kecuali Islam, pada waktu itu tidak ada kesadaran
yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut dengan kuat. Akibatnya,
disamping fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang
melahirkan gerakan syu'ubiyah.
Fanatisme kebangsaan ini nampaknya
dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan
sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai
dan tentara. Mereka diberi nasab dinasti dan mendapat gaji. Oleh Bani Abbas,
mereka dianggap sebagai hamba. Sistem perbudakan ini telah mempertinggi
pengaruh bangsa Persia dan Turki. Karena jumlah dan kekuatan mereka yang besar,
mereka merasa bahwa negara adalah milik mereka; mereka mempunyai kekuasaan atas
rakyat berdasarkan kekuasaan khalifah. Kecenderungan masing-masing bangsa untuk
mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri. Akan
tetapi, karena para khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga
keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga. Setelah al-Mutawakkil, seorang
khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara Turki tak terbendung lagi.
Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di
tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga, dan
selanjutnya beralih kepada Dinasti Seljuk pada periode keempat, sebagaimana diuraikan
terdahulu.
Kemerosotan Ekonomi
Khilafah Abbasiyah juga mengalami
kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik.
Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya.
Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Baitul-Mal penuh dengan harta. Pertambahan
dana yang besar diperoleh antara lain dari al-Kharaj, semacam pajak hasil bumi.
Setelah khilafah memasuki periode
kemunduran, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih
besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya
wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian
rakyat. diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang
memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran
membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat
semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi.
Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit.
Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti
Abbasiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.
Munculnya aliran-aliran sesat dan fanatisme kesukuan.
Fanatisme keagamaan berkaitan erat
dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai,
kekecewaan mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal
dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan
para khalifah. Al-Mansur berusaha
keras memberantasnya, bahkan Al-Mahdi merasa
perlu mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang Zindiq dan
melakukan mihnah dengan tujuan
memberantas bid'ah. Akan
tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum
beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat
sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang
menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik
bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai
tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi'ah, sehingga
banyak aliran Syi'ah yang dipandangghulat (ekstrim) dan dianggap
menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri. Aliran Syi'ah memang dikenal sebagai
aliran politik dalam Islamyang berhadapan
dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering terjadi
konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil, misalnya,
memerintahkan agar makam Husein Ibn Ali di Karballa dihancurkan. Namun
anaknya, al-Muntashir (861-862
M.), kembali memperkenankan orang Syi'ah "menziarahi" makam Husein
tersebut.
Syi'ah pernah berkuasa di dalam
khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi'ah yang
memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni.
Konflik yang dilatarbelakangi agama
tidak terbatas pada konflik antara muslim dan zindiq atau Ahlussunnah dengan Syi'ah saja, tetapi
juga antar aliran dalam Islam. Mu'tazilah yang
cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bid'ah oleh
golongan salafy.
Perselisihan antara dua golongan ini dipertajam oleh al-Ma'mun, khalifah
ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadikan Mu'tazilah sebagai
mazhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861
M).
aliran Mu'tazilah dibatalkan
sebagai aliran negara dan golongan Sunni kembali naik daun. Tidak tolerannya
pengikut Hanbali terhadap
Mu'tazilah yang rasional dipandang oleh tokoh-tokoh ahli filsafat telah
menyempitkan horizon intelektual padahal para salaf telah berusaha untuk
mengembalikan ajaran Islam secara murni sesuai dengan yang dibawa oleh Rasulullah.
Aliran Mu'tazilah bangkit kembali
pada masa Bani Buwaih. Namun pada masa Dinasti Seljuk yang menganut paham Sunni, penyingkiran golongan Mu'tazilah
mulai dilakukan secara sistematis. Dengan didukung penguasa aliran Asy'ariyah tumbuh subur dan berjaya.
Pikiran-pikiran al-Ghazali yang
mendukung aliran ini menjadi ciri utama paham Ahlussunnah. Pemikiran-pemikiran tersebut
mempunyai efek yang tidak menguntungkan bagi pengembangan kreativitas
intelektual Islam konon sampai sekarang.
Ancaman dari Luar
Apa yang disebutkan di atas adalah
faktor-faktor internal. Disamping itu, ada pula faktor-faktor eksternal yang
menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur.
2.
Serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam.
Sebagaimana telah disebutkan, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut
berperang setelah Paus Urbanus II (1088-1099
M) mengeluarkan fatwanya. Perang Salib itu juga membakar semangat perlawanan
orang-orang Kristen yang berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, di antara
komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Armeniadan Maronit Lebanon yang tertarik dengan Perang
Salib dan melibatkan diri dalam tentara Salib. Pengaruh perang salib juga
terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu Khan, panglima
tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi
oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi
dengan orang-orang Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong
ahlul-kitab. Tentara Mongol, setelah menghancur leburkan pusat-pusat Islam,
ikut memperbaiki Yerusalem.
Perang Salib
Perang Salib ini terjadi pada tahun
1095 M, saat Paus Urbanus II berseru kepada umat Kristen di Eropa untuk melakukan perang suci,
untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah di Baitul Maqdis yang
dikuasai oleh Penguasa Seljuk, serta menghambat pengaruh dan invasi dari
tentara Muslim atas
wilayah Kristen. Sebagaimana sebelumhnya tentara Sulthan Alp Arselan Rahimahullah tahun
464 H (1071 M), yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini
berhasil mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 2.000.000
orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia, peristiwa
ini dikenal dengan peristiwa Manzikert.
Walaupun umat Islam berhasil
mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara Salib, namun kerugian yang mereka
derita banyak sekali, karena peperangan itu terjadi di wilayahnya.
Kerugian-kerugian ini mengakibatkan kekuatan politik umat Islam menjadi lemah.
Dalam kondisi demikian mereka bukan menjadi bersatu, tetapi malah terpecah
belah. Banyak daulah kecil yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat
Abbasiyah di Baghdad.
Serangan Bangsa Mongol dan Jatuhnya Baghdad
Pada tahun 565 H/1258 M,
tentara Mongol yang
berkekuatan sekitar 200.000 orang tiba di salah satu pintu Baghdad.
Khalifah Al-Musta'shim, penguasa terakhir Bani Abbas di Baghdad (1243
- 1258), betul-betul tidak berdaya dan tidak mampu membendung "topan"
tentara Hulagu Khan.
Pada saat yang kritis tersebut,
wazir khilafah Abbasiyah, Ibn Alqami ingin mengambil kesempatan
dengan menipu khalifah. la mengatakan kepada khalifah, "Saya telah menemui
mereka untuk perjanjian damai. Hulagu Khan ingin mengawinkan anak perempuannya
dengan Abu Bakr Ibn Mu'tashim, putera
khalifah. Dengan demikian, Hulagu Khan akan menjamin posisimu. la tidak
menginginkan sesuatu kecuali kepatuhan, sebagaimana kakek-kakekmu terhadap
sulthan-sulthan Seljuk".
Khalifah menerima usul itu, la
keluar bersama beberapa orang pengikut dengan membawa mutiara, permata dan hadiah-hadiah
berharga lainnya untuk diserahkan kepada Hulagu Khan.
Hadiah-hadiah itu dibagi-bagikan Hulagu kepada para panglimanya. Keberangkatan
khalifah disusul oleh para pembesar istana yang terdiri dari ahli fikih dan
orang-orang terpandang. Tetapi, sambutan Hulagu Khan sungguh di luar dugaan
khalifah. Apa yang dikatakan wazirnya temyata tidak benar. Mereka semua,
termasuk wazir sendiri, dibunuh dengan leher dipancung secara bergiliran.
Dengan pembunuhan yang kejam ini
berakhirlah kekuasaan Abbasiyah di Baghdad. Kota Baghdad sendiri dihancurkan
rata dengan tanah, sebagaimana kota-kota lain yang dilalui tentara Mongol
tersebut. Walaupun sudah dihancurkan, Hulagu Khan memantapkan kekuasaannya di
Baghdad selama dua tahun, sebelum melanjutkan gerakan ke Syria dan Mesir.
Jatuhnya kota Baghdad pada tahun
1258 M ke tangan bangsa Mongol bukan saja mengakhiri
kekuasaan khilafah Bani Abbasiyah di sana, tetapi juga merupakan awal dari masa
kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Bagdad sebagai pusat kebudayaan
dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut
pula lenyap dibumihanguskan oleh pasukan Mongol yang dipimpin Hulaghu Khan
tersebut.
Posting Komentar